Berdasarkan laporan
United Nations Development programme (UNDP) tahun 2016, saat ini Indonesia
telah menempati peringkat 110 dari 187 negara dalam urusan pembangunan
manusianya. Jika dilihat dari laporan statistik tersebut, telah terjadi
perubahan signifikan yang terjadi setelah tahun 2014 dimana Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) di indonesia setelah tahun 2014 mengalami kenaikan sebesar 44,3
persen. Hal ini diartikan bahwa setelah tahun 2014, respon pemerintah dalam
peningkatan 3 (tiga) dimensi masyarakat di Indonesia, dimana : 1). Umur panjang dan hidup layak, 2).
Pengetahuan, serta 3). Standar hidup layak, bergerak naik dari tahun-tahun
sebelumnya.
Menurut penulis, ada
begitu banyak sisi pembangunan yang telah memberikan pemanfaatan hasil sehingga
mendorong mampu naiknya indeks pembangunan manusia di Indonesia. Akan tetapi
diantara sekian banyak sisi pembangunan tersebut, ada 1 (satu) potret
pembangunan yang masih sangat jauh dari harapan untuk mendorong peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Potret tersebut adalah masih minimnya pembangunan di bidang
pariwisata.
Hal ini di akui oleh Menteri
pariwisata Arief Yahya, bahwa pembangunan pariwisata di Indonesia menempati
ranking ke – 130 dari 144 negara. “itulah
penilaian dunia, sangat memalukan” kata Arief Yahya. Jika demikian, potret
pembangunan dibidang pariwisata sangatlah jauh dari keinginan pemerintah bahwa
di tahun 2019, kontribusi dari dunia pariwisata ditargetkan mencapai 15 persen dengan nilai Rp. 275 triliun,
dimana kontribusi terhadap kesempatan kerja mencapai 13 juta orang. (sumber :
Tempo.co )
Sebagai penulis, saya
merasa cukup aneh dengan minimnya pembangunan nilai-nilai dunia kepariwisataan di Indonesia. Padahal jika
dilihat dari luas pulaunya, pulau Kalimantan saja (daerah penulis) lebih luas
dari wilayah negara Malaysia. Perbandingan geografis ini saja membuktikan kalau
negara kita adalah gemuk dengan potensi pariwisata, potensi laut, dan keragaman
penduduk yang dipenuhi aneka seni budaya nusantara.
Bila di analogikan,
indonesia merupakan keluarga kaya raya yang bisa dijadikan sebagai subyek iri
oleh negara-negara di dunia. Akan tetapi yang justru terjadi malah sebaliknya,
ada jutaan wisatawan Indonesia yang berwisata ke negeri Jiran tersebut. Sementara
arus wisatawan dari Malaysia ke Indonesia justru lebih kecil.
Dalam benak penulis
yang menjadi pertanyaan adalah apakah ini menjadi salah satu kriteria indeks
bahwa kesejahteraan warga Indonesia lebih tinggi dari warga Malaysia atau kah daya
tarik wisata negeri Jiran tersebut lebih jauh memikat?
Jika kita sepakat
bahwa indeks kesejahteraan warga Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, lalu
mengapa dalam dunia wisata kita harus pergi menghabiskan dana untuk berwisata
ke negeri tetangga yang potensi kekayaannya tidak melebihi dari satu pulau saja
yaitu pulau Kalimantan?
sumber gambar : medansatu.com |
Menurut penulis, saat
ini kita terjebak dalam paradigma yang salah yaitu bahwa sektor pariwisata
selalu identik dengan kesempurnaan jaringan infrastruktur fisik seperti jalan, jembatan, listrik dan perhotelan, sehingga begitu terpaku pada satu unsur yaitu bahwa para wisatawan hanya akan mengunjungi daerah tujuan wisata yang
memiliki standar seperti di negara mereka. Walaupun mungkin ini ada benarnya
juga, akan tetapi inilah potret pembangunan dunia kepariwisataan di Indonesia.
HARAPAN DAN SOLUSI
Lirik Kiri Kanan Blog |
Dari paradigma tersebut, penulis beranggapan bahwa tidak semua wisatawan memiliki hobby yang sama. Saat ini
ada begitu banyak wisatawan yang suka berpetualang, dimana mereka mau
memanfaatkan fasilitas yang telah disediakan oleh masyarakat setempat atau lokal.
Inilah yang seharusnya menjadi peluang terbesar bagi negara kita yaitu
mengembangkan dunia pariwisata berbasis alam dan budaya (nature dan culture).
Lirik Kiri Kanan Blog |
Karena itulah, konsep pembangunan dunia kepariwisataan yang komprehensip mutlak diperlukan agar Indonesia menjadi khasanah daerah wisata yang berbudaya dan alami.
Posting Komentar